Bus Dingin

Bus Dingin

    Sore hari di akhir Mei, aku duduk menghadap jendela bus yang dipenuhi embun. Tanganku kedinginan, padahal sudah kutarik lengan sweater sampai ujung jari. Kakiku, aku tidak bisa berkutik, sepatu dan kaos kaki itu memang sudah basah sejak awal. Dengan kondisiku yang mudah menyerap dingin, di sepanjang jalan, aku hanya bisa berharap cepat sampai di pemberhentian akhir. Namun, apa boleh buat jika kepadatan dan hujan tak kunjung usai. Akhirnya, kupikirkan saja cara untuk lupa dengan kedinginannya.

    Mau tahu cara yang kupakai? Kuputar radio, kudengarkan dengan earphone, dan kuhayati lagu yang ada sambil menggenggam kain sweater. Alhasil, bayangan akan lirik tersebut membuatku lupa sedang berada di dalam bus dingin. Sampai tak terasa, akhirnya sampai di pemberhentian. 

    Di kondisi malam pukul 7, aku keluar dengan hati-hati karena tiba-tiba lensa kacamataku berembun sampai menutupi penglihatan. Tidak mungkin juga jika aku tiba-tiba berhenti di pintu bus hanya untuk mengelap embun itu. Bisa-bisa aku dibawa lagi ke halte asal. Untungnya aku bisa merasakan pijakan pintu bus, kalau tidak, aku bisa jatuh di halte yang gelap itu.

Comments